Oleh Deva Tri Pratami
Belakangan ini, dua negara di Asia- Indonesia dan Nepal menjadi sorotan media internasional. Reuters menulis bagaimana demonstrasi di Nepal memuncak hingga puluhan korban jiwa berjatuhan. Sementara AP News melaporkan dinamika protes di Indonesia sejak akhir Agustus lalu. Lalu muncul pertanyaan, apakah ada kesamaan motif antara dua kisah yang nampak terpisah ini? Mari kita lihat bagaimana keduanya dimulai, serta apa
yang dilakukan para elit dalam menanggapi persoalan rakyatnya.
Dimulai dengan Indonesia, Financial Times dan Assosiated Press menyoroti adanya ketimpangan sosial antara anggota DPR dan rakyat Indonesia di tengah sulitnya beban hidup dan minimnya lapangan kerja. Dalam laporannya, keduanya menyebut bahwa tunjangan rumah anggota DPR yang mencapai sekitar $3.000 per bulan- termasuk mewah dan jauh melampaui standar hidup rakyat biasa.
Kesenjangan inilah yang membuat masyarakat semakin marah, terutama ketika melihat kinerja para dewan yang tidak maksimal. Pun, rakyat yang berperang setiap harinya dengan harga kebutuhan pokok yang terus melonjak, biaya pendidikan yang semakin tinggi dan akses kesehatan yang sulit didapat merasa diabaikan oleh wakil-wakilnya.
Media internasional menganggap ini bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga krisis akuntabilitas politik. Wadah demokrasi kian menyempit, dan kepercayaan publik pada institusi negara makin terkikis. Hal ini yang membuat protes di Indonesia mendapat sorotan luas: ia bukan hanya luapan emosi sesaat, melainkan suara jeritan dari leher-leher rakyat yang terus menerus dicekik ketidakadilan.
Ketika pada akhirnya rakyat memutuskan untuk menyuarakan amarahnya, ternyata kemarahan rakyat tidak dijawab dengan dialog menenangkan, melainkan dengan kekerasan dan kebrutalan yang mengakibatkan korban jiwa berjatuhan. Lagi dan lagi hal ini kemudian disorot media internasional sebagai brutal crackdown-pencegahan atau pembubaran demonstrasi dengan kekerasan yang berlebihan-tanda semakin sempitnya demokrasi di Indonesia.
Salah satu kejadian yang memukul rakyat Indonesia adalah meninggalnya saudara Affan Kurniawan (21), seorang driver ojek online akibat dilindas mobil brimob pada Kamis, 28 Agustus 2025. AP News dalam liputannya melihat bahwa kematian Affan Kurniawan ini bukan hanya tragedi individual, melainkan simbol dari represi aparat terhadap rakyat. Hal ini memperuncing krisis politik di Tanah Air dan menimbulkan pertanyaan global: ke mana arah demokrasi Indonesia?
Beralih ke Nepal, demonstrasi yang terjadi di negara yang dikelilingi deretan pegunungan Himalaya itu juga berawal dari amarah rakyat yang disulut oleh kaum elit. Pemerintah sempat melarang akses ke 26 platform media sosial, termasuk Facebook, X, dan Youtube sebagai bagian dari regulasi baru. Hal ini jelas memicu protes besar-besaran, terutama dari kaum muda atau yang lebih akrab disebut Gen-Z, mereka merasa kontrol atas pemerintah dan kebebasan berekspresi semakin dibatasi.
Di era yang serba digital ini, di mana berita dari seluruh penjuru dunia bisa didapat dengan mudah, komunikasi dengan kerabat dari negara hingga benua yang berbeda bukan lagi menjadi hal yang mustahil dilakukan, dan masih banyak hal lainnya yang mana itu terjadi berkat media sosial, bisakah kita bayangkan bagaimana
jika suatu negara tidak mendapatkan hal-hal di atas? Mereka terisolasi dari dunia luar, dipaksa tertutup mata dan telinganya.
Sama halnya dengan Indonesia, protes yang dipelopori oleh kaum muda di Nepal ini memiliki pola yang sama; rakyat bersuara – pemerintah bungkam – adanya bentrokan dengan polisi – korban berjatuhan – serta muncul tekanan
politik besar-besaran terhadap pemerintah.
Di Indonesia, bukan media sosial yang ditutup atau dibatasi aksesnya dari masyarakat, melainkan kebebasan pers yang selama ini diagungkan kini berada di tepi jurang. Dalam momen kritis, pers seharusnya menjadi mata dan telinga rakyat. Namun tidak dalam demonstrasi besar di Indonesia; jurnalis diintimidasi, pers dibungkam, media independen bahkan mengaku mendapat tekanan, sementara akses ke sejumlah portal berita dibatasi. “Wartawan TV One Leo Chandra diduga ditangkap dan dianiaya oknum saat liputan di Koja” begitulah salah satu judul berita yang diangkat oleh Mediamassa.id
Situasi di Indonesia dan Nepal saat ini tidak hanya diamati di dalam negeri, Dunia pun memperhatikan dengan seksama. Media Internasional memberitakan adanya ketidakstabilan politik dan banyaknya kekerasan terhadap sipil. Lembaga-lembaga global yang dulunya menaruh harapan pada Indonesia sebagai teladan demokrasi di Asia kini bertanya-tanya “ke mana arah bangsa ini?”
Nepal yang sejak tahun 2008 sudah menghapus sistem monarki lalu mengadopsi sistem pemerintahan republik dengan konstitusi yang
menggarisbawahi prinsip-prinsip demokrasi juga mendapat pertanyaan yang sama.
Kini, reputasi keduanya dipertaruhkan. Dunia mengamati, menilai dan menunggu: apakah Indonesia dan Nepal akan mempertahankan nilai-nilai demokrasi, atau justru membiarkan penindasan merangkak masuk perlahan?