Oleh: Millenia Dian Kumala-09/10/2025
Protes menentang Israel yang menyerang armada Global Sumud Flotilla. Foto: Al Jazeera English.
Sejak Israel memblokade segala bantuan ke Gaza, krisis pangan dan medis semakin kronis. Kondisi ini memicu lahirnya “Global Sumud Flotilla” sebagai bentuk solidaritas dunia yang memuat pasokan bantuan bagi warga Gaza, sekitar 500 aktivis dari 44 negara berlayar membawa misi kemanusiaan, hingga pada awal Oktober lalu dunia bergejolak terhadap aksi Israel yang mengintersepsi kapal-kapal di perairan internasional, mulai dari semprotan air kimia, pengeboman hingga penahanan masal aktivis flotilla “Beberapa kapal… secara ilegal dicegat dan dinaiki oleh pasukan Israel di perairan internasional” ungkap aktivis Flotilla. Alhasil hingga kini bantuan Gaza belum tersalurkan.
Israel yang melegalkan intersepsi berdalih adanya unsur provokasi politik dalam pelayaran Sumud Flotilla, tuduhan tersebut memicu gelombang protes di sejumlah kota besar; Belgia, Athena, Paris, Buenos Aires, Roma, Berlin dan kota besar lainnya serta kecaman keras dari para pemimpin dunia.
Malaysia melalui perdana Menteri Anwar Ibrahim dengan lantang menyerukan “Dengan memblokir misi kemanusiaan, Israel telah menunjukkan penghinaan total tidak hanya terhadap hak-hak rakyat Palestina tetapi juga terhadap Nurani dunia” tulis pernyataan resmi Wisma Putra yang dirilis beberapa jam setelah laporan insiden muncul di media internasional. Pemerintah Malaysia juga menuntut dewan keamanan PBB untuk segera mengambil Langkah konkret menghentikan impunitas Israel.
Turki, presiden Recep Tayyip Erdogan bahkan menuding Israel melakukan perampokan dan tindak terorisme, ia juga menegaskan dukungan terhadap para aktivis.
Kolombia, negara yang sejauh ini mengambil Langkah diplomatik paling keras dengan mengusir diplomat Israel serta membatalkan perjanjian perdagangan bebas FTA dengan Israel. Presiden Gustavo Petro bahkan menyatakan akan menempuh jalur hukum internasional.
Spanyol, Menteri luar negeri Jose Manuel Albares mengambil Langkah diplomasi telepon dengan sejumlah mitra, untuk mendorong sikap bersama membela aktivis Flotilla. Bersamaan dengan ribuan pengunjuk rasa yang memadati Madrid dan Barcelona, menuntut sanksi tegas terhadap pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Teriakan “Boikot Israel” menggema di ibukota.
Ketegangan juga merambah di politik Amerika serikat, meskipun PBB belum memberi pernyataan resmi, sejumlah legislator democrat mendesak Gedung putih untuk turun tangan. Organisasi advokasi Muslim terbesar di AS, CAIR menilai Tindakan Israel sebagai bentuk pembajakan di perairan Internasional. “Tidak ada seorangpun yang berhak menjadi bajak laut dan memaksakan kehendaknya sesuka hati, saya pikir kita semua setara” tambah seorang kru asal palestina Osama Qashoo terhadap para jurnalis.
Setiap pelanggaran adalah kerugian reputasi yang mahal. Intersepsi ini menandai kemunduran serius dalam tata kelola kemanusiaan global, memperkuat framing rapuhnya komitmen Israel akan norma dan hukum internasional. Alih-alih sebagai negara yang menonjolkan legitimasi keamanan politik, Israel kini menghadapi krisis moral dan reputasi di mata diplomasi dunia sekaligus memangku tanggung jawab terbesar atas gagalnya armada Global Sumud Flotilla menyentuh bibir Gaza. Terlebih kepatuhan terhadap norma internasional bukan sekedar idealisme semata, melainkan fondasi bagi stabilitas negara yang berkelanjutan.
Global Sumud Flotilla dari solidaritas internasional menjadi simbol krisis diplomatik global, misi kemanusiaan yang disalahartikan sebagai acaman menjadi sabab-musabab gejolak aksi lintas negara yang getol menuntut keadilan bagi Palestina. Dunia semakin terpolarisasi dalam menyikapi konflik di Timur Tengah, mulai dari Afrika-Eropa, dari Amerika-Asia tuntutannya sama yakni hormati hukum internasional, bebaskan aktivis kemanusiaan dan izinkan bantuan sampai ke Gaza. Menilik pada Mei 2024 silam, mahkamah pidana internasional telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap pejabat Israel, namun lemahnya kekuatan militer yang menegakkan keputusan tersebut serta minimnya perhatian global, surat itu hanya menjadi simbol tanpa dampak nyata. Lalu, apakah kali ini akan terulang Kembali?
Sumber Referensi: CNBC Indonesia & Reuters