Oleh Nadin Fatiha
Perjalanan Global Sumud Flotilla (GSF) adalah bentuk solidaritas kemanusiaan terhadap Palestina. Sumud diambil dari kata bahasa arab yang artinya ketangguhanketegaran dan istilah flotilla secara umum berarti armada kapal yang berlayar bersama. Dalam konteks Global Sumud Flotilla, istilah ini tidak sekedar merujuk pada sekumpulan kapal sipil, melainkan juga simbol solidaritas internasional untuk menantang blokade Gaza. Istilah flotilla bukanlah hal baru; pada tahun 2010 Freedom Flotilla Coalition (FFC), pernah mengorganisir armada serupa, di mana salah satu kapalnya, Mavi Marmara diserang oleh pasukan israel dan menewaskan 10 aktivis.
Berbeda dengan flotilla-flotilla sebelumnya, Global Sumud Flotilla (GSF) tahun 2025 menjadi misi kemanusiaan laut terbesar yang pernah digelar. Armada ini terdiri dari lebih dari 50 kapal dengan sekitar 1.000 peserta dari 44 negara . Berangkat dari Barcelona pada 22 Agustus 2025, GSF tidak hanya mengusung tujuan mengirimkan bantuan, tetapi juga menekan negara-negara (terutama negara-negara Islam dan Arab) yang memiliki kapasitas diplomatik, logistik, dan finansial untuk membuka koridor bantuan, namun memilih bungkam .
Selama perjalanannya menuju Gaza, Global Sumud Flotilla (GSF) mendapati berbagai ancaman dan serangan dari otoritas Israel. Armada ini sempat menjadi target serangan drone, meski tidak menimbulkan korban jiwa maupun kerusakan serius. Pesawat tempur Israel juga beberapa kali mengintimidasi dengan berputar mengitari konvoi di laut lepas. Di tengah ancaman itu, GSF juga memperoleh dukungan nyata dari sejumlah pihak internasional. Italia dan Spanyol menjadi dua negara Eropa yang secara terbuka memberikan izin GSF dan mendampingi selama melewati laut mediterania. Selain itu, sebanyak 16 negara dari berbagai kawasan dunia juga menyatakan dukungan politik dan moral terhadap misi ini. Dukungan lintas-negara tersebut menegaskan bahwa GSF bukan sekadar aksi simbolik, melainkan representasi solidaritas global yang menuntut diakhirinya blokade Israel atas Gaza.
Meski mendapat dukungan dari berbagai negara, perjalanan GSF tidak lepas dari tantangan dan risiko besar. Sejumlah kapal dilaporkan mendapat intimidasi berupa penyergapan dan pengawasan ketat dari armada laut Israel di sepanjang jalur pelayaran. Banyak aktivis yang kini masih tertahan di perairan internasional, sementara sebagian lainnya menghadapi ancaman penahanan jika nekat mencoba menembus blokade Gaza. Kondisi ini membuat para peserta GSF hidup dalam ketidakpastian, dengan akses terbatas terhadap informasi, logistik, dan keamanan, namun tetap berkomitmen untuk melanjutkan misi kemanusiaan mereka.
GSF memiliki makna strategis yang lebih luas dibanding sekadar distribusi bantuan kemanusiaan. Kehadiran masyarakat sipil dari berbagai benua menunjukkan bahwa solidaritas terhadap Palestina melampaui batas geografis dan politik. Gerakan ini sekaligus mengingatkan dunia bahwa negara-negara, khususnya di kawasan Arab dan Islam, masih gagal menjalankan perannya dalam menekan Israel. Dengan kata lain, GSF adalah sebuah kritik moral yang tajam terhadap pemimpin dunia yang memilih diam di tengah penderitaan rakyat Gaza.
Menyimak perjalanan GSF membuat saya tersentuh sekaligus geram. Tersentuh karena melihat keberanian para aktivis sipil yang rela mempertaruhkan keselamatan demi solidaritas, namun geram karena masih banyak negara berkuasa yang memilih bungkam. Saya berharap GSF dapat menjadi momentum untuk membangkitkan kesadaran global bahwa krisis Gaza bukan hanya isu regional, melainkan persoalan kemanusiaan universal. Harapannya, dari aksi ini lahir dorongan nyata untuk menghentikan blokade dan menghadirkan keadilan bagi Palestina.